Press Release / 09 Feb 2011
Bisnis Indonesia
Skema penerapan pembiayaan kredit pemilikan rumah dengan pola sekuritisasi aset PT Sarana Multi griya Finansial Persero (SMF) diperluas ke perusahaan pembiayaan (multifinance) untuk mendorong mereka berperan aktif menyalurkan FLPP.
Direktur Utama SMF Erica Soeroto menjelaskan sampai saat ini penyaluran KPR masih didominasi perbankan. Pada saat yang sama, bank konvensional dan syariah belum menjadikan segmen KPR sebagai bisnis utama.
‘Perusahaan multifinance regulasinya di bawah Bapepam-LK [Badan Pengawas Pasar Modal Lembaga Keuangan]. Untuk menggeser multifinance ke bisnis KPR dan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan [FLPP] tak mudah karena mindset mereka masih dibayangi bisnis otomotif,’ kata Erika dalam diskusi Pembiayaan Properti di Pasar Modal Indonesia, kemarin.
Sejauh ini, ujarnya, dari total 192 perusahaan pembiayaan yang tercatat di Bapepam-LK baru sekitar empat perusahaan pembiayaan yang bekerja sama dengan SMF dengan skema sekuritisasi KPR.
Keempat perusahaan itu adalah PT Financia Finance, PT Ciptadana Multifinance, PT MNC Finance, dan PT First Indo American Leasing (FIAL). ‘Mereka dapat pinjaman fix [tetap] selama 5 tahun,’ katanya.
Kepala Biro Investasi BapepamLK Djoko Hendrato memastikan perusahaan pembiayaan yang merambah bisnis KPR tak akan terkena regulasi giro wajib minimum (GWM) Bank Indonesia karena mereka tak menghimpun dana pihak ketiga.
Perusahaan pembiayaan dinilainya telah memiliki basis konsumen dan relatif berkapabilitas baik. ‘Karena itu, pengaturan perusahaan pembiayaan langsung berada di bawah BapepamLK. Kami sudah berkoordinasi dengan BI. Perusahaan multifinance tak tunduk pada peraturan perbankan,’ katanya.
Erica optimistis perusahaan pembiayaan bisa menjalankan bisnis KPR dengan potensi pasar yang menggiurkan, terutama untuk masyarakat berpendapatan menengah ke bawah dengan plafon kredit Rp20 juta-Rp50 juta, yang hingga kini masih dihindari perbankan.
Dengan semakin banyak pemain yang terjun ke bisnis KPR, dia yakin akan tercipta efisiensi dan kompetisi yang sehat sehing ga suku bunga KPR bisa terkerek turun.
Dia mengatakan sekuritisasi merupakan model transaksi yang sangat tepat. Transaksi sekuritisasi dilakukan dengan mengkonversi aset berupa tagihan KPR yang tidak likuid menjadi surat berharga (efek) yang likuid sehingga dapat diperdagangkan di pasar modal. Melonjak Pada tahun ini total sekuritisasi dan pembiayaan yang akan di salurkan SMF sebesar Rp2,19 triliun. Dengan modal tersebut dia menargetkan penyaluran dana mencapai Rp5,52 triliun atau setara dengan 170.000 KPR.
Angka tersebut melonjak 67,27% dibandingkan dengan realisasi penyaluran dana pada 2010 yang mencapai Rp3,3 triliun atau setara dengan 94.536 KPR.
Adapun, total aset perusahaan (aktiva) hingga Desember 2010 mencapai Rp2,57 triliun, sedangkan ekuitas (modal internal) mencapai Rp 1,43 triliun.
SMF, jelasnya, bertugas membangun pasar sekunder perumahan. Dalam membangunnya, SMF mau mempertemukan pembeli dan penjual. Setelah model sekuritisasi terbentuk, model tersebut ditawarkan ke bank dan investor lain. ‘Kalau mereka mau, bisa bekerja sama dengan kami. Kalau sekarang baru BTN.
Karena itu, kita belum bisa mengatakan pasarnya sudah terbentuk,’ katanya. Wakil Direktur Utama BTN Evi Firmansyah optimistis dalam 5 tahun mendatang, pola pembia yaan FLPP bisa dilakukan sekuritisasi asalkan peringkat perbankan naik dan bunga acuan Bank Indonesia stabil. ‘Ini sejalan dengan cita-cita kami yang ingin menjadikan BTN menjadi public KPR,’ katanya.
Meski demikian, Erica khawatir kontribusi sektor properti terha dap perekonomian masih rendah.
Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia dan Eropa, rasio pertumbuhan KPR terhadap PDB Indonesia masih paling rendah atau hanya sekitar 2% pada 2007.
Padahal, rasio Malaysia telah . mencapai 29%, Thailand 17%, China 12%, Belanda 99%. Rasio pertumbuhan yang sangat rendah dinilainya karena industri properti di Indonesia masih belum efisien lantaran empat masalah pokok yakni tumpang tindihnya regulasi antara pusat dan daerah, harga bahan bangunan yang tak terkendali, sertifikasi lahan yang rumit, dan kurang optimalnya dukungan industri keuangan dalam bisnis mortgage.
Semua faktor itu dinilainya memicu high cost economy sehingga l suku bunga KPR di Indonesia sangat tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain, sedangkan rasio daya beli masyarakat te rus menyusut. ‘Pertumbuhan . yang rendah ini karena di semua lini belum efisien,’ katanya. (GAJAH KUSUMO) (yusuf.waluyo@bis nis.co.id)