Press Release / 18 Oct 2010
Diposting oleh : Redaksi (www.bisnisharian.com)
Purwakarta : Tersendatnya pembangunan perumahan di Indonesia karena masih tingginya suku bunga KPR di Indonesia, yakni antara 11-14 persen dan bahkan bisa naik tiap tahunnya, padahal di negara lain suku bunga KPR jauh lebih rendah. Tingginya suku bunga KPR tersebut juga karena perbankan di tanah air masih menggunakan sumber dana jangka pendek yakni dari dana pihak ketiga (DPK) seperti tabungan, deposito, giro sebagai sumber pembiayaan KPR.
Rasio Kredit Perumahan Rakyat (KPR) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia terendah dibandingakn negara-negara lain yakni hanya sebesar 2 Persen. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan rasio KPR terhadap PDB negara lain seperti negeri tetangga Malaysia yang sudah mencapai 29 persen, Singapura 32 persen, Taiwan 39 persen, Hongkong 41 persen, bahkan Belanda 99 persen, dimana di negeri Kincir Angin tersebuti jangka waktu KPR bisa mencapai 30 tahun. sementara di Indonesia hanya rata-rata 7-15 tahun.
“Maka dalam rangka menekan bunga KPR tersebut, pemerintah melalui BUMN pembiayaan sekunder yang menyalurkan dana ke KPR yaitu PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), menerbitkan obligasi yang seluruh perolehan dananya untuk pembiayaan KPR perbankan,” kata Direktur PT SMF Suotomo pada cara media workshop di Purwakarta, Sabtu (16/10/10).
Hingga saat ini SMF telah menerbitkan dua obligasi yakni Obligasi SMF I pada 10 Juli 2009 dan Obligasi SMF II pada 29 Desember 2009, serta Efek Beragun Aset (EBA) KPR-BTN I dan EBA KPR BTN II.
“Semakin rendah bunga obligasi, maka semakin murah pula bunga yang akan dikenakan kepada bank KPR. Dengan demikian, bunga KPR kepada konsumen pun diharapkan menjadi lebih murah dan bisa terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat di Indonedia,” lanjut Sutomo..
Tapi menurut Sutomo, kegiatan SMF yang menyediakan dana bagi KPR perbankan ini hanya sampai 2018. Selanjutnya, perseroan tidak lagi memberikan pinjaman likuiditas kepada KPR perbankan, melainkan melalui sekuritisasi hak tagih KPR.
Sekuritisasi maksudnya transaksi aset KPR sudah di luar buku transaksi perbankan, melainkan sudah dijual putus melalui kontrak investasi kolektif (KIK/ wali amanat) yang merupakan kontrak antara manajer investasi dengan Bank Kustodian. Dalam hal ini yaitu KIK EBA yang nantinya akan menjual efek ke lantai bursa.
Dengan demikian, ke depannya diharapkan perseroan akan lebih berperan sebagai penjamin transaksi, bukan lagi fasilitator transaksi penyedia likuiditas.
Sekadar informasi, pemerintah meresmikan PT SMF ini sejak 22 Juli 2005 dengan modal awal penyertaan negara sebesar Rp4 triliun. Adapun perseroan di bawah kelolaan Kementerian Keuangan, khususnya Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).
Pemerintah menugasi perseroan untuk mengupayakan tercapainya azas keterjangkauan bagi setiap masyarakat untuk memiliki rumah.
Seementara itu, dalam rangka meningkatkan ekuitas SMF, pemerintah pada tahun depan akan mengucurkan dana Rp1 triliun untuk pengembangan PT Sarana Multigriya Financsial (SMF).
“Tahun depan kemungkinan pemerintah akan menambah modal penyertaan sebesar Rp1 triliun lagi untuk SMF. Untuk memberikan likuiditas kepada KPR perbankan, SMF kan juga butuh equity untuk menerbitkan obligasi. Agar bunga obligasi ini rendah, maka SMF harus meningkatkan rating yang ditentukan rating agency yang tentunya memiliki sejumlah kriteria aset di dalamnya,” jelas Sutomo.(HIDAYAT)